Aku tak bisa berpikir.
Atau mungkin aku tak mau berpikir.
Lebih jauh tentang apapun.
Semuanya terasa menohok, walaupun masalah-masalah datang dari arah dan jenis yang berbeda, bahkan mungkin tak ada hubungannya. Tapi mereka berasil kok, membuatku kesakitan.
Tapi aku bisa apa sih, menghadapi kegilaan jenis ini?
Aku bahkan luar biasa sulit mengungkapkannya padamu, karena tau bahwa apapun yang kukatakan sia-sia, tidak bermakna apapun pada siapapun, dan tak mengurangi rasa sakit.
Aku sudah berulang kali berkata padamu bahwa aku tolol, idiot, dan membingungkan. Tapi ternyata aku jauh lebih parah dari itu. Karena aku tau semua masalah yang membuatku pilu sangatlah tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Jadi, aku baru saja membeli Breaking Dawn. Kau tahu itu nyawaku. Satu-satunya sesuatu yang tak menuntut adalah khayalanku. Dan aku mencintainya.
Dulu, dulu sekali, aku tidak tahu bahwa perasaanku pada buku ini, atau lebih tepatnya imajinasi ini, akan berkembang luar biasa cepat, dan lama kelamaan terasa menyesakkan. Aku mencintai karakter Jacob Black lebih dari apapun, lebih dari semua buku fiksi yang pernah ku baca. Sudah kubilang aku ini sinting, karena siapa sih yang bisa jatuh hati pada karakter fiksi?
Dan dia, Jacob Black maksudku, benar-benar sanggup membuatku gila.
Kekecewaan itu merayap ganas, ketika tiba saatnya aku membaca suatu bagian dari buku itu, yang entah kenapa seperti merenggut Jacob Black-ku. Jacob Black-ku yang dulu. Yang tidak percaya cinta sejati tapi setia kawan; yang lucu dan membuatku tercekik saking ingin tertawa; yang mempertahankan cintanya (walaupun tak percaya pada cerita konyol cinta sejati) pada seorang cewek, yang walaupun membuatku sakit setengah mati, setidaknya ia masih Jacob-ku yang dulu. Ada sesuatu dalam buku itu yang membuat Jacob-ku jadi berbeda, dan aku tak suka itu.
Dan satu masalah itu sebenarnya sudah cukup membuatku mendesah tak bahagia. Kenapa segala sesuatunya seolah terasa terenggut dariku? kenapa harus sekarang? seolah aku tak punya cukup masalah saja.
Kemudian masalah itu datang lagi. Dari arah berbeda dan mempunyai massa jenis yang berbeda. Aku tak akan menyebut masalah itu mempunyai berat yang berbeda, karena kesemuanya tampak sama besar saat ini. jadi mungkin lebih baik menyebutnya massa jenis saja.
Tidak, ternyata aku lebih memilih dilindas truk daripada membayangkan tak bisa lagi melihat kemenangan mereka. Mereka, maksudku, adalah orang-orang hebat yang dikenalkan padaku sejak umur 7 tahun, dengan tindakan-tindakan tak terhitung yang mengharumkan bangsa. Well, kau tidak boleh mengangapku lebay atau berlebihan dalam masalah ini, kau kularang untuk menyebutku lebay atau apa, karena aku akan benar-benar marah kalau kau bilang begitu.
Karena ini sungguhan.
Kau tak tahu bagaimana rasanya jadi aku: dilahirkan dari seorang ayah yang menjunjung kebangsaan Indonesia, sejak kecil diajarkan untuk mencintai bangsaku jauh lebih besar dari apapun, diajarkan untuk membela tanah airku dalam persaingan dunia apapun.
Ayahku, mengajarkannya dengan cara sedikit berbeda. Dia mendukung aksi heroik pemain badminton. Dan kau harus tau bagian terpentingnya: aku benar-benar mulai mencintai mereka pada tiap pertandingannya. Aku mencintai kebangsaanku lebih dari apapun, atau mungkin lebih hebat dari ayahku.
Dan akhir-akhir ini, prestasi para pahlawanku sedikit menurun.
Ini salah.
Tak seharusnya begitu.
Ingatanku melayang entah keberapa tahun lalu, saat Taufik Hidayat dan LinDan bertarung: hidup bagi negara masing-masing atau mati menanggung malu.
Suasananya heboh, aku masih ingat jelas para penonton meneriakkan Takbir, do'a, dan lagu hebat nasionalku: Indonesia Raya. Lalu terdengar gemuruh: "INDONESIA!! INDONESIA!!" diselingi dengan tepuk riuh dari suporter. Bisa kulihat dari layar televisiku, seolah tempat itu menjadi camp bagi para korban bencana alam: semua penuh dengan lautan manusia. Kebanyakan berkostum merah-putih. Dan aku tau apa yang ku inginkan: aku mau menjadi bagian dari itu.
Aku terhempas.
Kenapa sekarang beda dengan dulu? apa yang membuatnya berbeda?
Jadi, tentunya kau sudah tau bahwa saat ini Sudirman Cup sedang berlangsung, kejuaraan beregu yang memperebutkan gengsi. Tapi aku tak setuju, itu lebih terasa seperti pembuktian terhadap dunia. bukan hanya gengsi.
Dan siang ini, masalah itu menusukku telak dari segala penjuru.
Pertandingan pertama adalah Lilyana Natsir/Nova Widianto melawan pasangan Korea, Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung. Yang membuatku sakit, pasangan Indonesia kalah. Kalah tipis. Sementara aku begitu luar biasa merindukan mereka bertarung!! Bisakah kau bayangkan betapa sakitnya itu?! Pertandingan pertama dan mereka kalah!! Pertandingan pertama mereka di Semifinal dan pertandingan pertama bagiku setelah penantian sekian lama!!
Aku meringis menahan tangis.
Dan parahnya lagi, aku melihat dan mendengar luapan kecewa mereka. Ini jauh, jauh lebih parah.
Aku tak suka melihat mereka mengerang seperti itu lagi. Aku tak sudi melihat mereka meringis melihat kesalahan mereka. Aku tak sanggup melihat mereka telentang di lapangan, nyaris jengkel karena berlomba dengan angka. Aku benci melihat mereka terduduk lemas, mengakui kekalahan. Aku jauh lebih merana!
Karena satu-satunya yang lebih parah dari dilindas truk sekaligus bus pariwisata adalah, melihat penyesalan nyata pahlawan mu. Sakit. Sekali. Sungguh.
Dan aku sudah bilang padamu bahwa ini bukan lebay, ini tidak berlebihan, karena bagaimana lagi cara mengungkapkan apa yang kurasakan kalau tidak jujur?
Aku lelah.
Tapi mungkin nasib sedang bersikap congkak padaku akhir-akhir ini.
Jadi aku mendapat hantaman lagi.
Aku bukan tipe orang pendendam, sungguh.
Tapi itu bukan berarti aku tak bisa patah hati. Patah hati bukan dalam sudut pandang percintaan maksudku.
Selain ayahku, dalam darahku juga mengalir darah ibuku. mengalir deras di pembuluh darah, di seluruh tubuh. Jadi tentu saja aku mewarisi beberapa sifatnya. Dan aku tahu ibuku terobsesi pada bahasa Inggris. Well, sebenarnya tidak separah itu sih, tapi kan dia nyaris selalu mementingkan bahasa Inggris di atas pelajaran lain (bukan berarti matematika tidak penting).
Jadi beginilah. Aku tak hanya mencintai bahasa Inggris, tapi memujanya.
Kenapa?
Karena satu-satunya benua yang kupikirkan saat ini adalah Amerika.
Kenapa Amerika?
Karena Amerika terasa seperti pusat, pusat dunia. Pusatnya manusia-manusia cerdas dengan bahasanya yang tak kalah jenius. Dan Taylor Lautner ada disitu. Lahir disitu, menetap di daerah itu, bernafas di tempat itu.
Dan aku senang menjadi pusat.
Tidak, bukan berarti pusat perhatian, tapi lebih tepatnya, aku senang dianggap menjadi dari bagian dari pusat. Dan aku memang ingin menuntut ilmu hingga jauh ke sana. Lagipula aku cinta bahasa mereka yang selalu terdengar cerdas. Kau harus tau, bahkan menurutku kata-kata kotor mereka sangat berkelas.
Jadi, selama ini aku berusaha keras memperdalam english-ku.
Kau takkan pernah bisa membayangkan betapa aku bekerja keras untuk itu. Tapi tak apa-apa, aku senang kok bekerja keras untuk sesuatu yang indah dan cerdas.
Aku mulai aktif melancarkan english-ku sekitar setahun lalu, saat masih kelas 1 SMP. Dan kelas Bilingual benar-benar membantu.
Kemudian aku kelas 2. Aku senang sekali mereka semua mulai tau apa yang kusenangi.
Tapi tiba-tiba saja keadaan berubah. Aku tak lagi menjadi pusat, setidaknya dalam lingkup sekolah. ini luar biasa menyedihkan. Mereka tak pernah berpikir tentang aku, selalu menjadi orang kedua.
Dan sudah kubilang aku bukan orang pendendam. Jadi ketika menyadari aku sakit hati gara-gara beberapa sekutu-ku sekarang berubah menjadi pusat, aku kaget luar biasa.
Salahkah aku kalau aku iri?
Salahkah aku kalau aku marah?
Salahkah aku membenci sekutu-ku hanya karena mereka menggantikan posisiku?
Bisakah aku menahan semua emosi ini di depan mereka?
Sementara rasa cintaku pada Amerika semakin menjadi-jadi?
Dan satu masalah ini menimbulkan masalah lain lagi.
Bisakah kau membayangkan betapa membingungkannya ini?
Aku mencintai tanah airku lebih dari apapun, tapi aku menyayangi Amerika dan segala sesuatunya dengan segenap yang kumiliki. Dan aku tak suka dianggap pengkhianat atau apalah namanya, aku tak suka dianggap plin-plan. Jadi ini membingungkan, walaupun tak separah membayangkan Jacob-ku, Pahlawan-ku, atau bagaimana emosiku pada sekutu-ku sendiri.
Dan sudah kubilang aku tak suka dianggap pengkhianat dan aku benci ketidakpastian, jadi ini cukup membuatku resah.
Begitu banyaknya lah perasaan yang harus kuhirup pada saat yang bersamaan.
Aku lemas, mati kutu.
Tapi entah bagaimana, tiba-tiba saja ada satu sentilan yang kurasakan sore tadi.
Bahwa dari sekian banyak yang telah direnggut (jacob-ku, pusat-ku, pahlawan-ku) aku masih punya Tuhan yang walaupun tak pasti keberadaannya, tapi aku tahu Dia ada. Dia melihat dan Dia tahu. Pemikiran ini nyaris membuatku meledak saking leganya. Bahwa aku masih punya kesempatan menjadi pusat dalam ajang yang lebih baik lagi. Bahwa aku bisa meminta-Nya untuk melihatku sebagai pusat, aku bisa berdoa pada-Nya. Bahwa ternyata, pusat yang paling pusat bukanlah seberapa besar orang-orang membutuhkanmu, tapi bagaimana Tuhan melihatmu berdiri tegak menyelesaikan masalah..
Surat Suara Tanpa Angka
10 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
monggo di komen :) terima kasih sudah berkunjung :)