Sabtu, 23 Mei 2009

Aku mau jadi angin, kalau begitu. Tak dipedulikan, tapi mengancam sekaligus dibutuhkan.

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 20.04 0 komentar

Jadi harus bagaimana lagi aku?

sekarang aku tahu bagaimana rasanya jadi wanita Afghanistan. Sungguh. Apabila kau hidup dalam rezim penindasan wanita, dan kau terpaksa menikah dengan orang yang sama sekali tidak kau ingini, yang tidak kau cintai. Padahal di luar sana, tantangan demi tantangan sungguh menggoda. Kemudian kau tahu kau hamil, dan suami mu nenuntut agar anak yang kau kandung anak laki-laki yang perkasa. Padahal kau kan belum bisa memastikan berjenis kelamin apakah ia. Dan suamimu merongrong terus, bahkan ia telah membelikan setumpuk pakaian pria untuk calon si jabang bayi. Dan kau takut, takut sekali. Bagaimana kalau nanti aku mengecewakannya?? Bagaimana kalau anak yang bergelung nyaman dalam rahim mu adalah seorang perempuan berparas ayu? Bisakah kau menahan luapan kekecewaan suami mu?? takutkah kau?

Begitulah yang kurasakan.

Bedanya, aku sama sekali tidak sedang mengandung atau bahkan berpikiran untuk mempunyai suami dalam waktu dekat ini. Tapi kan sama saja:

Kakakku sedang berada di Jogja saat ini. Salah satu kota yang aku cinta. Dia sedang memperebutkan posisi sebagai pemenang dalam ajang pidato bahasa Inggris (orang yang benar-benar mengenal aku seharusnya sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini) di Universitas Gajah Mada (UGM). Dia baru saja mengabarkan bawa ia masuk 5 besar. Dan siapa sih yang tak senang? maskudku, seharusnya kan kau senang. Dan malam ini, orang tuaku membicarakannya dengan seru, sementara aku mendengarkan dengan nafas tertahan. Sungguh menyesakkan. Secara garis besar, mereka bilang mereka bangga pada putri pertama mereka. Namun bila perbincangan mereka diuraikan secara mendetail, itu benar-benar membuatku tercekik.

Ayahku bilang, masuk 5 besar saja sudah luar biasa. Maksudnya, dengan 5 besar, kau tentu bisa melakukan apa saja. Kalau nantinya kau menang dan mendapat beasiswa UGM fakultas Hubungan Internasional (HI), siapa sih yang tak melonjak-lonjak bahagia? Dan, kalaupun nantinya kau tak menang, toh kau tetap mendapatkan sertifikat sebagai 5 besar ajang ini. Itu,  bisa membuatmu masuk perhitungan daftar orang-orang yang akan diterima jika kau mendaftar menjadi mahasiswa di sana. Kemudian ayahku bilang, toh kakakku sudah mendapatkan berbagai sertifikat dari berbagai universitas terkenal yang kemungkinan akan menerimanya dengan senang hati. Jadi satu-satunya yang perlu kakakku takutkan saat ini adalah Ujian Negaranya. Ujian kelulusannya. Dan kemungkinan kakakku tidak lulus SMA sangat kecil, kalau tidak mau dibilang tidak mungkin. Kemudian mereka beralih pembicaraan saat awal kakakku menyelami bidangnya, bagaimana ia berkenalan dengannya, bagaimana mereka bisa menjalin kekuatan bersama (seolah mereka tercipta untuk melengkapi satu sama lain), bagaimana ia akan sukses menjadi seorang diplomat. Diplomat.

Aku mulai panik saat pembicaraan mulai merambat ke arah ini.

Bagi yang tak mengenal aku, kuberi tahu kau, bahwa diplomat adalah pekerjaan yang sungguh, luar biasa keren. Maksudku, siapa sih yang tak mau mengenal dunia luar? Semua orang menginginkan itu, kecuali kalau kau terlanjur cinta pada tempat mu bernafas saat ini. Dan bahasa Inggrisnya. Dan pikiranku mulai melayang ke arah jalan-jalan lebar Washington, atau gedung bersejarah London. Dan aku bisa merasakan euforia kebebasan, bagaimana darahku menggelegak di sana, bagaimana aku akan berbaur dengan orang-orang cerdas dengan bahasa Inggris fasih di sana. Lalu samar-samar aku mendengar ayahku bilang: "nah. seharusnya dek Latifa akan sukses dalam matematikanya. kemudian jadilah dokter ia!!" kata ayahku sambil tersenyum.

Aku mendarat dengan tidak mulus ke bumi. Rasanya seperti perutku baru saja dijejalkan bongkahan batu bata kering yang terpanggang panas matahari seharian. Itu  bukan pernyataan, tapi penegasan. Dan nafasku tercekat ketika memahami pikiran ini.

Siapa yang bisa menjamin aku akan menjadi dokter? Bahkan mereka tak tahu betapa aku, betapa aku membenci itu!! Well, sebenarnya tidak benci sih, hanya kesal saja. Bahkan mereka tak tahu nilai matematika ku!!

Dan inilah beberapa daftar "bahkan" yang lain:

~bahkan mereka tak tahu betapa aku mencintai bahasa Inggris seperti aku mencintai jantungku sendiri!!

~bahkan mereka tak tahu, sama sekali tak terpikirkan di benak mereka, bahwa anak kedua mereka menderita serangan kecintaan pada Amerika dan Eropa akut!!

~bahkan tak terpikirkan pada mereka, alasan-alasan kenapa anak keduanya kecanduan novel fiksi luar negri!!

~bahkan mungkin cintaku pada bahasa Inggris melebihi cintanya kakakku pada bidang yang digelutinya saat ini.

~bahkan aku tak bisa mengungkapkan betapa aku, betapa aku, ingin meledak saking mimpiku tentang kesibukan dan perbincangan santai namun cerdas mereka ingin terwujud!! aku ingin menjadi bagian dari dunia!! menjadi bagian tak terelakkan dari pusat, dari kejeniusan dan semangat membara!!

~bahkan mungkin, kakakku sama sekali tak pernah berdoa sesinting aku kepada Tuhan, agar entah suatu saat nanti aku diijinkan menginjakkan kaki di sana, di tanah empat musim dengan orang kulit putihnya. ia takkan pernah sesinting aku dalam berharap hal ini, karena aku telah bertawakal kepada Tuhan agar setidaknya, jika aku tak berkesempatan menghirup nafas Amerika atau Eropa, Tuhan akan mengabulkan doaku pada keturunanku. Pada anakku atau cucuku atau keturunanku yang ketujuh. Sebegitunyalah cintaku, hingga ketulusanku yang luar biasa keluar dari tubuhku.

~bahkan tak ada seorang pun yang percaya bahwa aku sungguh-sungguh menyukai Taylor Lautner dengan segala kesempurnaannya, walaupun semua orang bilang hidungnya besar seperti terung.

Bagaimana aku menjelaskan semua itu pada orang tuaku?

Pada harapan semu mereka?

Padahal tak sedikitpun aku bisa membayangkan dengan imajinasiku yang hebat ini, bahwa suatu hari nanti aku duduk di ruang kerjaku, yang pada dindingnya tertempel poster Empat Sehat Lima Sempurna, dan mengenakan jas putih yang pada bagian dadanya terjahit tulisan: "Dr.Latifatul Khairiyah".

Sesungguhnya, menurutku itu mengerikan. Aku tak mau pekerjaan seperti itu. Aku ingin bebas. Bebas yang sebebas-bebasnya. Tapi tentu saja aku masih tahu aturan kebebasan, jadi kau tak perlu khawatir.

Dan saat ini, aku teringat kata-kata Qisti padaku di suatu siang yang panas, ketika kami membicarakan masa depan yang penuh dengan seribu satu kemungkinan: "aku tak takut pada nilai-nilaiku atau apapun. bukan begitu. Aku takut, jika suatu saat nanti, entah berapa tahun setelah ini, aku akan tumbuh dewasa dan tak tahu akan bekerja apa, tak tahu mau jadi apa, dan aku takut aku tak akan menjadi apa-apa, padahal sebegitunyalah orang tuaku meyekolahkanku, sebesar itulah pengorbanan mereka untuk memenuhi kebutuhan pendidikanku."

Dan aku tertunduk, menyerap apa yang baru saja ia katakan. Kurasa itu mulai menohokku.

Akan jadi apa aku?

Kecewakah mereka bila tidak melihatku tumbuh sebagai dokter wanita yang hebat?

kecewakah mereka dengan bidang yang nantinya akan kupilih sesuai dengan kemauanku, bukan kemauan mereka?

Karena aku tidak mau jadi guru.

Aku tidak mau menjadi seorang dokter wanita berbakat.

Aku tak mau menjadi ibu rumah tangga.

Karena aku ingin bebas. Aku menuntut kebebasan. Bebas yang sebebas-bebasnya. Bebas seperti angin, bukan seperti burung, karena burung selalu menjadi ancaman bagi petani dan beberapa orang lain, karena burung suatu saat akan mati, tergeletak dan tak berdaya. Karena burung diburu manusia, mereka dipenjarakan dalam sarang seperti sel, tak pernah mengepakkan sayap leih dari 3 kali saking sempit sarangnya, dan mereka menggantungkan hidupnya sepenuhnya kepada manusia. Dan aku tak ingin menjadi burung. Aku lebih suka angin, karena angin bebas sebebas-bebasnya, tak menunduk pada suatu apapun kecuali Tuhan, mereka mengancam manusia dengan keanggunannya, mereka tak terikat dan tak bergantung pada suatu apapun kecuali pada Tuhan.

Kamis, 21 Mei 2009

Jacob Black

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 10.27 0 komentar

Well, tulisan ini bertanggal 17 April 2009, hari Jumat, dan ku ketik pada handphone-ku yang hebat dan tiada duanya (maksudku, aku tau tipenya tidak setara dengan N70 atau touch screen, bahkan kameranya sangat tidak bermutu. tapi dia benar-benar hebat, karena bisa berfungsi sebagai microsoft word ku tentu saja!! aku sering sekali menulis di e-mail dan menyimpannya dalam draft). Jadi inilah dia:

Aku benar-benar bingung.

Tiap kali membaca namanya dibuku, seolah nama itu mematahkan tiap senti rusukku. Menyebalkan, karena itu membuatku susah bernafas bahkan seringkali aku mengerang.

Jacob Black, seolah-olah mengirisku menjadi pasir.

Dan aku tak bohong, bahwa kecemburuan itu menguasaiku hampir secepat cahaya. Menjalari ujung-ujung kakiku hingga puncak ubun-ubunku. Aku tidak suka itu. Kecemburuan... seperti asing sekali dirasakan.

Tak pernah aku merasa seperti ini.

Jacob Black menculikku ke dalam fantasi indah maupun mengerikan. Dia marah, maka tak segan-segan pula aku meremas-remas segala sesuatu di dekatku. Dia sedih, maka dunia ini runtuh, dan tak akan ada lagi Amerika. Dia bahagia, maka dengan senang hati aku akan tertawa selepas-lepasnya, menari seindah-indahnya.

Dan kurasakan dalam darahku, bahwa dia luar biasa menular.

Kesedihannya membuatku kalut. Kadang aku membayangkan ekspresinya ketika sedih. Dan ternyata, itu teramat menyakitkan. Aku tak ingin lagi membayangkan mata hitamnya menerawang sedih. Aku tak ingin lagi membayangkan rahangnya kaku dan sudut bibirnya tertarik ke bawah. Aku tak ingin lagi membayangkannya mengalami kesulitan tak berujung. Aku tak mau kebahagiaan diambil darinya, secuilpun tidak.

Walaupun aku tau ada yang salah: Jacob Black, tidak seharusnya sedih hanya karena seorang cewek menolaknya. Itu tak bisa diterima. Aku sendiri yang akan menancapkan belati ke jantung cewek itu. Karena aku tak bisa menerima.

Dan ternyata, membayangkan kesedihannya jauh lebih parah daripada membayangkan amarahnya. Aku bisa merasakan tengkukku bergidik, badanku bergetar, dan sedetik setelahnya aku menangis meraung-raung. Karena aku tak bisa menerima kesakitannya.

Dia tak bisa bernafas; kepedihan yang menjalari tulang punggungnya; dan pikiran bahwa ia tak mau mendengar lagi... aku jauh lebih merana!!

Tapi dia hanya tokoh fiksi. Dan aku tau aku benar-benar sinting untuk menyukainya. Atau aku hanya menyukai Taylor Lautner? hingga apapun yang diperankannya selalu membuatku tersedot?

Aku benci mengakui ini: Bahwa entah di belahan dunia mana, ada banyak cewek memikirkan dia sama sintingnya seperti aku. Karena ini berarti dia bukan milikku, dan rasa sukaku benar-benar cuma kekaguman biasa dan sesaat. Padahal aku memimpikannya tiap waktu, berdoa suatu saat nanti ia pergi ke tempat terpencil ini. Atau jika tempat ini terlalu menjijikkan baginya, maka dengan melihatnya di layar kaca televisiku sudah cukup membuatku mendesah bahagia. Setidaknya jika dia mau tinggal di pusat kota walau tidak lama, aku masih bisa berbahagia bahwa setidaknya aku pernah berjarak beberapa ratus kilometer darinya. Aku akan melolong-lolong gembira, walau itu membuat tangisku juga meledak.

Aku membingungkan, dan aneh, dan idiot, dan itulah sebabnya mimpi-mimpiku sulit dikabulkan.

--oh.. aku minta maaf karena belum merampungkan ceritaku tentang "orangtua-yang-tak-mau-bertoleransi-pada-hobiku-membaca-fiksi", padahal aku kan sudah berjanji. Masalahnya, aku orang yang benar-benar menggantungkan segala sesuatu pada mood, walaupun aku tau batasan-batasannya sih. Tapi ceritaku mengenai "orangtua-yang-tak-mau-bertoleransi-pada-hobiku-membaca-fiksi" sangat panjang. Aku bahkan menghabiskan sekitar 5 lembar bolak-balik kertas Sidu ketika menulisnya. Dan membayangkan aku duduk seharian di depan komputer sambil mengetik saja sudah hampir membuatku muntah, jadi sebaiknya ku tunda dulu perampungannya. Lagipula, waktunya tak mau bekerja sama denganku, waktunya tak tepat.

Cee ya..

Sabtu, 16 Mei 2009

Sederet masalah akan membuatku mati, kan?

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 18.54 0 komentar
Aku tak bisa berpikir.
Atau mungkin aku tak mau berpikir.
Lebih jauh tentang apapun.

Semuanya terasa menohok, walaupun masalah-masalah datang dari arah dan jenis yang berbeda, bahkan mungkin tak ada hubungannya. Tapi mereka berasil kok, membuatku kesakitan.
Tapi aku bisa apa sih, menghadapi kegilaan jenis ini?

Aku bahkan luar biasa sulit mengungkapkannya padamu, karena tau bahwa apapun yang kukatakan sia-sia, tidak bermakna apapun pada siapapun, dan tak mengurangi rasa sakit.

Aku sudah berulang kali berkata padamu bahwa aku tolol, idiot, dan membingungkan. Tapi ternyata aku jauh lebih parah dari itu. Karena aku tau semua masalah yang membuatku pilu sangatlah tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Jadi, aku baru saja membeli Breaking Dawn. Kau tahu itu nyawaku. Satu-satunya sesuatu yang tak menuntut adalah khayalanku. Dan aku mencintainya.
Dulu, dulu sekali, aku tidak tahu bahwa perasaanku pada buku ini, atau lebih tepatnya imajinasi ini, akan berkembang luar biasa cepat, dan lama kelamaan terasa menyesakkan. Aku mencintai karakter Jacob Black lebih dari apapun, lebih dari semua buku fiksi yang pernah ku baca. Sudah kubilang aku ini sinting, karena siapa sih yang bisa jatuh hati pada karakter fiksi?
Dan dia, Jacob Black maksudku, benar-benar sanggup membuatku gila.
Kekecewaan itu merayap ganas, ketika tiba saatnya aku membaca suatu bagian dari buku itu, yang entah kenapa seperti merenggut Jacob Black-ku. Jacob Black-ku yang dulu. Yang tidak percaya cinta sejati tapi setia kawan; yang lucu dan membuatku tercekik saking ingin tertawa; yang mempertahankan cintanya (walaupun tak percaya pada cerita konyol cinta sejati) pada seorang cewek, yang walaupun membuatku sakit setengah mati, setidaknya ia masih Jacob-ku yang dulu. Ada sesuatu dalam buku itu yang membuat Jacob-ku jadi berbeda, dan aku tak suka itu.

Dan satu masalah itu sebenarnya sudah cukup membuatku mendesah tak bahagia. Kenapa segala sesuatunya seolah terasa terenggut dariku? kenapa harus sekarang? seolah aku tak punya cukup masalah saja.

Kemudian masalah itu datang lagi. Dari arah berbeda dan mempunyai massa jenis yang berbeda. Aku tak akan menyebut masalah itu mempunyai berat yang berbeda, karena kesemuanya tampak sama besar saat ini. jadi mungkin lebih baik menyebutnya massa jenis saja.

Tidak, ternyata aku lebih memilih dilindas truk daripada membayangkan tak bisa lagi melihat kemenangan mereka. Mereka, maksudku, adalah orang-orang hebat yang dikenalkan padaku sejak umur 7 tahun, dengan tindakan-tindakan tak terhitung yang mengharumkan bangsa. Well, kau tidak boleh mengangapku lebay atau berlebihan dalam masalah ini, kau kularang untuk menyebutku lebay atau apa, karena aku akan benar-benar marah kalau kau bilang begitu.

Karena ini sungguhan.
Kau tak tahu bagaimana rasanya jadi aku: dilahirkan dari seorang ayah yang menjunjung kebangsaan Indonesia, sejak kecil diajarkan untuk mencintai bangsaku jauh lebih besar dari apapun, diajarkan untuk membela tanah airku dalam persaingan dunia apapun.
Ayahku, mengajarkannya dengan cara sedikit berbeda. Dia mendukung aksi heroik pemain badminton. Dan kau harus tau bagian terpentingnya: aku benar-benar mulai mencintai mereka pada tiap pertandingannya. Aku mencintai kebangsaanku lebih dari apapun, atau mungkin lebih hebat dari ayahku.
Dan akhir-akhir ini, prestasi para pahlawanku sedikit menurun.
Ini salah.
Tak seharusnya begitu.

Ingatanku melayang entah keberapa tahun lalu, saat Taufik Hidayat dan LinDan bertarung: hidup bagi negara masing-masing atau mati menanggung malu.
Suasananya heboh, aku masih ingat jelas para penonton meneriakkan Takbir, do'a, dan lagu hebat nasionalku: Indonesia Raya. Lalu terdengar gemuruh: "INDONESIA!! INDONESIA!!" diselingi dengan tepuk riuh dari suporter. Bisa kulihat dari layar televisiku, seolah tempat itu menjadi camp bagi para korban bencana alam: semua penuh dengan lautan manusia. Kebanyakan berkostum merah-putih. Dan aku tau apa yang ku inginkan: aku mau menjadi bagian dari itu.

Aku terhempas.
Kenapa sekarang beda dengan dulu? apa yang membuatnya berbeda?

Jadi, tentunya kau sudah tau bahwa saat ini Sudirman Cup sedang berlangsung, kejuaraan beregu yang memperebutkan gengsi. Tapi aku tak setuju, itu lebih terasa seperti pembuktian terhadap dunia. bukan hanya gengsi.

Dan siang ini, masalah itu menusukku telak dari segala penjuru.

Pertandingan pertama adalah Lilyana Natsir/Nova Widianto melawan pasangan Korea, Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung. Yang membuatku sakit, pasangan Indonesia kalah. Kalah tipis. Sementara aku begitu luar biasa merindukan mereka bertarung!! Bisakah kau bayangkan betapa sakitnya itu?! Pertandingan pertama dan mereka kalah!! Pertandingan pertama mereka di Semifinal dan pertandingan pertama bagiku setelah penantian sekian lama!!
Aku meringis menahan tangis.

Dan parahnya lagi, aku melihat dan mendengar luapan kecewa mereka. Ini jauh, jauh lebih parah.
Aku tak suka melihat mereka mengerang seperti itu lagi. Aku tak sudi melihat mereka meringis melihat kesalahan mereka. Aku tak sanggup melihat mereka telentang di lapangan, nyaris jengkel karena berlomba dengan angka. Aku benci melihat mereka terduduk lemas, mengakui kekalahan. Aku jauh lebih merana!

Karena satu-satunya yang lebih parah dari dilindas truk sekaligus bus pariwisata adalah, melihat penyesalan nyata pahlawan mu. Sakit. Sekali. Sungguh.
Dan aku sudah bilang padamu bahwa ini bukan lebay, ini tidak berlebihan, karena bagaimana lagi cara mengungkapkan apa yang kurasakan kalau tidak jujur?

Aku lelah.

Tapi mungkin nasib sedang bersikap congkak padaku akhir-akhir ini.

Jadi aku mendapat hantaman lagi.

Aku bukan tipe orang pendendam, sungguh.
Tapi itu bukan berarti aku tak bisa patah hati. Patah hati bukan dalam sudut pandang percintaan maksudku.

Selain ayahku, dalam darahku juga mengalir darah ibuku. mengalir deras di pembuluh darah, di seluruh tubuh. Jadi tentu saja aku mewarisi beberapa sifatnya. Dan aku tahu ibuku terobsesi pada bahasa Inggris. Well, sebenarnya tidak separah itu sih, tapi kan dia nyaris selalu mementingkan bahasa Inggris di atas pelajaran lain (bukan berarti matematika tidak penting).
Jadi beginilah. Aku tak hanya mencintai bahasa Inggris, tapi memujanya.

Kenapa?

Karena satu-satunya benua yang kupikirkan saat ini adalah Amerika.

Kenapa Amerika?

Karena Amerika terasa seperti pusat, pusat dunia. Pusatnya manusia-manusia cerdas dengan bahasanya yang tak kalah jenius. Dan Taylor Lautner ada disitu. Lahir disitu, menetap di daerah itu, bernafas di tempat itu.

Dan aku senang menjadi pusat.
Tidak, bukan berarti pusat perhatian, tapi lebih tepatnya, aku senang dianggap menjadi dari bagian dari pusat. Dan aku memang ingin menuntut ilmu hingga jauh ke sana. Lagipula aku cinta bahasa mereka yang selalu terdengar cerdas. Kau harus tau, bahkan menurutku kata-kata kotor mereka sangat berkelas.

Jadi, selama ini aku berusaha keras memperdalam english-ku.
Kau takkan pernah bisa membayangkan betapa aku bekerja keras untuk itu. Tapi tak apa-apa, aku senang kok bekerja keras untuk sesuatu yang indah dan cerdas.

Aku mulai aktif melancarkan english-ku sekitar setahun lalu, saat masih kelas 1 SMP. Dan kelas Bilingual benar-benar membantu.
Kemudian aku kelas 2. Aku senang sekali mereka semua mulai tau apa yang kusenangi.
Tapi tiba-tiba saja keadaan berubah. Aku tak lagi menjadi pusat, setidaknya dalam lingkup sekolah. ini luar biasa menyedihkan. Mereka tak pernah berpikir tentang aku, selalu menjadi orang kedua.

Dan sudah kubilang aku bukan orang pendendam. Jadi ketika menyadari aku sakit hati gara-gara beberapa sekutu-ku sekarang berubah menjadi pusat, aku kaget luar biasa.

Salahkah aku kalau aku iri?
Salahkah aku kalau aku marah?
Salahkah aku membenci sekutu-ku hanya karena mereka menggantikan posisiku?
Bisakah aku menahan semua emosi ini di depan mereka?
Sementara rasa cintaku pada Amerika semakin menjadi-jadi?

Dan satu masalah ini menimbulkan masalah lain lagi.

Bisakah kau membayangkan betapa membingungkannya ini?
Aku mencintai tanah airku lebih dari apapun, tapi aku menyayangi Amerika dan segala sesuatunya dengan segenap yang kumiliki. Dan aku tak suka dianggap pengkhianat atau apalah namanya, aku tak suka dianggap plin-plan. Jadi ini membingungkan, walaupun tak separah membayangkan Jacob-ku, Pahlawan-ku, atau bagaimana emosiku pada sekutu-ku sendiri.

Dan sudah kubilang aku tak suka dianggap pengkhianat dan aku benci ketidakpastian, jadi ini cukup membuatku resah.

Begitu banyaknya lah perasaan yang harus kuhirup pada saat yang bersamaan.
Aku lemas, mati kutu.

Tapi entah bagaimana, tiba-tiba saja ada satu sentilan yang kurasakan sore tadi.
Bahwa dari sekian banyak yang telah direnggut (jacob-ku, pusat-ku, pahlawan-ku) aku masih punya Tuhan yang walaupun tak pasti keberadaannya, tapi aku tahu Dia ada. Dia melihat dan Dia tahu. Pemikiran ini nyaris membuatku meledak saking leganya. Bahwa aku masih punya kesempatan menjadi pusat dalam ajang yang lebih baik lagi. Bahwa aku bisa meminta-Nya untuk melihatku sebagai pusat, aku bisa berdoa pada-Nya. Bahwa ternyata, pusat yang paling pusat bukanlah seberapa besar orang-orang membutuhkanmu, tapi bagaimana Tuhan melihatmu berdiri tegak menyelesaikan masalah..

Selasa, 12 Mei 2009

apa salahnya dengan membaca komik mom?

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 14.30 0 komentar
Well, jadi ini bukan tulisan yang kubuat hari ini. Ini tulisan yang kubuat pada Minggu, 12 April 2009, tepatnya pukul 07:05 p.m . Tidak, kau tak boleh menganggap tulisan ini sudah lama atau bagaimana. Karena aku menilai baru atau tidaknya tulisan melalui bagaimana perasaanku pada tulisan ini,, apakah masih sesuai dengan suasana hatiku atau tidak. Dan kau harus tau bahwa aku telah bersumpah pada diriku sendiri untuk tidak pernah bosan apada tulisanku yang satu ini (haha, konyol memang). Aku tau mungkin ini akan menjadi bacaan yang membosankan bagi kalian yang tak pernah mengalami hal yang sama seperti aku. Tapi harusnya kau tahu bawa tulisan ini sungguh-sungguh kubuat dengan semua kemampuanku,, karena saat menulis tulisan dibawah ini aku benar-benar sedang marah.

Ok, kau boleh mulai membacanya.

"Nah!! Aku benar-benar tak mengerti bagaimana cara berpikir orang tua!! Mereka protes, katanya aku terlalu banyak membaca komik atau sesuatu seperti itu, dan menanyakan mengapa aku tidak belajar. Mereka bilang, membaca komik bukanlah sesuatu yang menguntungkan.
Hah! Kayak bergosip dengan tetangga menguntungkan saja! Dan mereka bilang padaku bahwa membaca komik membuatku ketinggalan pelajaran. Dan kali ini aku benar-benar marah.
Hey mom, memangnya apa saja yang kulakukan di dalam kelas? tidur? merencanakan aksi demo dan sejenisnya? Berikan applaus panjang buat mereka! Aku benar2 tak mengerti. Memangnya mereka pikir apa saja kegiatan di kelas hingga membuatku ketinggalan pelajaran? Memangnya aku tukang bolos?
Pemfitnahan mengenai ketinggalan pelajaran bagi siswa seperti aku benar2 tak bisa ditoleransi.

Hah! Harusnya mereka ingat bahwa aku kecanduan novel sejak kelas 7 dan sejak saat itu pula mereka memperingatkanku. Saat itu aku masuk dalam jajaran anak2 cerdas di kelas, dan perlu diketahui kelasku bukan kelas sembarangan. Dan saat kenaikan kelas, aku kembali lagi ke kelas A! Dan aku yakin ini bukan keberuntungan, karena aku benar2 berusaha untuk itu. Aku tau kecanduanku pada karya-karya fiksi semakin menjadi-jadi, tapi toh hasil ujian semester satuku lebih baik daripada anak-anak lain di keluarga ini! Nilai 7,5 hanya terdapat pada pelajaran Jasmani. Dan siapa sih yang mau mempedulikan pelajaran jasmani kalau anakmu berhasil mendapatkan nilai di atas 8 hampir di semua mata pelajaran?

TIDAK!! Tidak!! Aku tidak berpikir atau bersikap sombong tentang itu!! Karena secerdas-cerdasnya aku, aku toh tetap merasa kalah dengan orang lain, -maksudku, semua orang punya kelebihan masing2 kan?

Dan sekarang, masalahnya adalah, kalau aku bisa mendapatkan prestasi seperti itu, memangnya ku tak boleh mendapat imbalan? Aku bekerja keras selama seminggu terakhir sebelum ujian untuk menyiapkan bahan materi dan mereka menolak memberi imbalan TIGA hari untuk bersenang-senang? itu sih penghinaan!! Hanya 3 hari dan itu hanya untuk membaca 3 novel yang tebalnya cuma 150 halaman serta satu buah film yang katanya keren! Bandingkan dengan materi ujianku yang kalau dijumlah mampu mencapai 1000 halaman!! TIGA hari untuk bersenang-senang, please! Aku bekerja keras 2 mingu ini! Dan aku berjanji akan mempertahankan bahkan meningkatkannya hingga kelulusan! Memangnya apa lagi sih yang perlu mereka takutkan kalau punya anak seperti aku?

Maksudku, aku kan tidak punya perilaku menyimpang. Aku bakan sudah bisa hidup mandiri: mencuci baju, mencuci peralatan makanku sendiri, dan mengerjakan semua tugas-tugasku tanpa pernah meminta bantuan dari mereka. Apa itu sama sekali tidak membanggakan? Hhh...kalau saja aku ini hidup di Amerika, aku bahkan hampir yakin orang tuaku akan menangis-nangis saking bangganya dan berkata pada seluruh sekolah bahwa anaknya aalah anak baik dan tidak pernah berniat atau melakukan perbuatan mesum sekalipun.-tapi ini di Indonesia, negaranya Agama Islam (sekaligus sarang kemaksiatan), jadi inilah kenyataannya. Sebenarnya, kalau boleh jujur, aku benar-benar muak pada negara ini. Kalau saja aku adalah pewaris tunggal kekayaan orang paling sukses di negara ini, tentunya aku sudah mengepak barang-barangku dan mengurus surat perpindahan kewarganegaraan di Eropa atau di Amerika.

Oke, kembali ke pokok masalah.

Jadi apa sih yang mereka takutkan kalau aku membaca komik atau segala sesuatu seperti itu? Mereka sama sekali tidak tahu kalau itu semua membuat otak kananku menjadi lebi efektif. Aku belajar banyak kata dari itu, aku belajar luar biasa banyak mengenai kalimat-kalimat rumit membosankan dari novel, aku belajar sesuatu yang tak pernah kualami sebelumnya: bermimpi ke Eropa atau ke Amerika. DAN, bukankah semua orang tua menginginkan anaknya punya cita-cita setinggi mungkin? jadi seharusnya mereka tidak protes atau marah atau apalah namanya itu.

Nah, jadi apalagi sih yang mereka harapkan dari seorang aku? bertindak heroik dengan menyelamatkan korban kasus pembunuhan berantai? menjadi pahlawan nasionalis termuda dengan mengungkap siapa dalang pelaku korupsi terbesar di Indonesia? menjadi seorang ilmuwan ahli genetika dengan berbagai macam gelar di nama belakangku? Hey mom, itu jelas tidak masuk akal buatku! Maaf saja.

Aku JELAS lebih tertarik bekerja untuk sosial. Aku lebih suka jadi relawan bencana Tsunami tentu saja, karena di sana aku merasa lebih bermanfaat. Maksudku, apa sih untungnya menjadi ilmuwan genetika?? memangnya aku mau menciptakan manusia seperti Spiderman atau Batman apa?
Yeah, sebenarnya jadi ilmuwan genetika cool juga sih. Tapi tentu saja itu tak sekeren menjadi sutradara film Hollywood.

Oh! Jadi mungkin mereka menginginkan aku melakukan hal-hal seperti yang dilakukan kakakku: membawa piala pidato Bahasa Inggris dan Telling Story sebanyak mungkin, ergaul dengan anak-anak cerdas, menjadi pengurus ekstrakurikuler, mengikuti semua tes masuk perguruan tinggi dan lain sebagainya. Astaga, please!! Bahkan menurutku itu membosankan dalam arti yang sebenar-benarnya!!

Aku selalu menantikan hal-hal yang ajaib di kehidupanku, setiap malam di tempat tidurku: mungkin berharap keesokan harinya akan ada salju turun di halaman belakang rumahku dan suhu udara turun drastis hingga mencapai 4 derajat Celcius. Aku selalu mengharap bahwa keesokan paginya aku bangun dan menemukan diriku terbaring di atas dipan kayu karena aku diculik oleh kurcaci-kurcaci imut kecil dan akan menjadikanku tumbal bagi seorang penyihir. Aku selalu berharap bahwa hari itu akan terjadi insiden besar di sekolahku: seperti pendopo terbelah menjadi dua, atau Taylor Lautner secara ajaib muncul di depan gerbang sekolah sehabis bel pulang dan menungguku untuk menaiki delman dan mengajakku makan siang.
Aku akan menyembah-nyembah agar permohonan terakhirku itu terkabul. Aku jatuh cinta pada Taylor."





(taylor sooo cute)















Wow. jadi itulah sebagian tulisanku pada 12 April 2009. Kau harus tau, aku bahkan menghabiskan 5 lembar bolak-balik kertas Sidu untuk mencurahkan semua yang aku simpan hingga akhirnya marahku habis. Well, aku memang begitu kalau sudah menulis. Seolah-olah dunia ini hanya aku, dan objek yang kutulis.

Aku akan menuliskan lanjutannya nanti malam, atau besok pagi, pokoknya di saat rumahlu sepi. Aku tak bisa menulis di keramaian, tau.

See ya!!
 

Latiffatul Wolfe Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez