Sabtu, 23 Mei 2009

Aku mau jadi angin, kalau begitu. Tak dipedulikan, tapi mengancam sekaligus dibutuhkan.

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 20.04

Jadi harus bagaimana lagi aku?

sekarang aku tahu bagaimana rasanya jadi wanita Afghanistan. Sungguh. Apabila kau hidup dalam rezim penindasan wanita, dan kau terpaksa menikah dengan orang yang sama sekali tidak kau ingini, yang tidak kau cintai. Padahal di luar sana, tantangan demi tantangan sungguh menggoda. Kemudian kau tahu kau hamil, dan suami mu nenuntut agar anak yang kau kandung anak laki-laki yang perkasa. Padahal kau kan belum bisa memastikan berjenis kelamin apakah ia. Dan suamimu merongrong terus, bahkan ia telah membelikan setumpuk pakaian pria untuk calon si jabang bayi. Dan kau takut, takut sekali. Bagaimana kalau nanti aku mengecewakannya?? Bagaimana kalau anak yang bergelung nyaman dalam rahim mu adalah seorang perempuan berparas ayu? Bisakah kau menahan luapan kekecewaan suami mu?? takutkah kau?

Begitulah yang kurasakan.

Bedanya, aku sama sekali tidak sedang mengandung atau bahkan berpikiran untuk mempunyai suami dalam waktu dekat ini. Tapi kan sama saja:

Kakakku sedang berada di Jogja saat ini. Salah satu kota yang aku cinta. Dia sedang memperebutkan posisi sebagai pemenang dalam ajang pidato bahasa Inggris (orang yang benar-benar mengenal aku seharusnya sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini) di Universitas Gajah Mada (UGM). Dia baru saja mengabarkan bawa ia masuk 5 besar. Dan siapa sih yang tak senang? maskudku, seharusnya kan kau senang. Dan malam ini, orang tuaku membicarakannya dengan seru, sementara aku mendengarkan dengan nafas tertahan. Sungguh menyesakkan. Secara garis besar, mereka bilang mereka bangga pada putri pertama mereka. Namun bila perbincangan mereka diuraikan secara mendetail, itu benar-benar membuatku tercekik.

Ayahku bilang, masuk 5 besar saja sudah luar biasa. Maksudnya, dengan 5 besar, kau tentu bisa melakukan apa saja. Kalau nantinya kau menang dan mendapat beasiswa UGM fakultas Hubungan Internasional (HI), siapa sih yang tak melonjak-lonjak bahagia? Dan, kalaupun nantinya kau tak menang, toh kau tetap mendapatkan sertifikat sebagai 5 besar ajang ini. Itu,  bisa membuatmu masuk perhitungan daftar orang-orang yang akan diterima jika kau mendaftar menjadi mahasiswa di sana. Kemudian ayahku bilang, toh kakakku sudah mendapatkan berbagai sertifikat dari berbagai universitas terkenal yang kemungkinan akan menerimanya dengan senang hati. Jadi satu-satunya yang perlu kakakku takutkan saat ini adalah Ujian Negaranya. Ujian kelulusannya. Dan kemungkinan kakakku tidak lulus SMA sangat kecil, kalau tidak mau dibilang tidak mungkin. Kemudian mereka beralih pembicaraan saat awal kakakku menyelami bidangnya, bagaimana ia berkenalan dengannya, bagaimana mereka bisa menjalin kekuatan bersama (seolah mereka tercipta untuk melengkapi satu sama lain), bagaimana ia akan sukses menjadi seorang diplomat. Diplomat.

Aku mulai panik saat pembicaraan mulai merambat ke arah ini.

Bagi yang tak mengenal aku, kuberi tahu kau, bahwa diplomat adalah pekerjaan yang sungguh, luar biasa keren. Maksudku, siapa sih yang tak mau mengenal dunia luar? Semua orang menginginkan itu, kecuali kalau kau terlanjur cinta pada tempat mu bernafas saat ini. Dan bahasa Inggrisnya. Dan pikiranku mulai melayang ke arah jalan-jalan lebar Washington, atau gedung bersejarah London. Dan aku bisa merasakan euforia kebebasan, bagaimana darahku menggelegak di sana, bagaimana aku akan berbaur dengan orang-orang cerdas dengan bahasa Inggris fasih di sana. Lalu samar-samar aku mendengar ayahku bilang: "nah. seharusnya dek Latifa akan sukses dalam matematikanya. kemudian jadilah dokter ia!!" kata ayahku sambil tersenyum.

Aku mendarat dengan tidak mulus ke bumi. Rasanya seperti perutku baru saja dijejalkan bongkahan batu bata kering yang terpanggang panas matahari seharian. Itu  bukan pernyataan, tapi penegasan. Dan nafasku tercekat ketika memahami pikiran ini.

Siapa yang bisa menjamin aku akan menjadi dokter? Bahkan mereka tak tahu betapa aku, betapa aku membenci itu!! Well, sebenarnya tidak benci sih, hanya kesal saja. Bahkan mereka tak tahu nilai matematika ku!!

Dan inilah beberapa daftar "bahkan" yang lain:

~bahkan mereka tak tahu betapa aku mencintai bahasa Inggris seperti aku mencintai jantungku sendiri!!

~bahkan mereka tak tahu, sama sekali tak terpikirkan di benak mereka, bahwa anak kedua mereka menderita serangan kecintaan pada Amerika dan Eropa akut!!

~bahkan tak terpikirkan pada mereka, alasan-alasan kenapa anak keduanya kecanduan novel fiksi luar negri!!

~bahkan mungkin cintaku pada bahasa Inggris melebihi cintanya kakakku pada bidang yang digelutinya saat ini.

~bahkan aku tak bisa mengungkapkan betapa aku, betapa aku, ingin meledak saking mimpiku tentang kesibukan dan perbincangan santai namun cerdas mereka ingin terwujud!! aku ingin menjadi bagian dari dunia!! menjadi bagian tak terelakkan dari pusat, dari kejeniusan dan semangat membara!!

~bahkan mungkin, kakakku sama sekali tak pernah berdoa sesinting aku kepada Tuhan, agar entah suatu saat nanti aku diijinkan menginjakkan kaki di sana, di tanah empat musim dengan orang kulit putihnya. ia takkan pernah sesinting aku dalam berharap hal ini, karena aku telah bertawakal kepada Tuhan agar setidaknya, jika aku tak berkesempatan menghirup nafas Amerika atau Eropa, Tuhan akan mengabulkan doaku pada keturunanku. Pada anakku atau cucuku atau keturunanku yang ketujuh. Sebegitunyalah cintaku, hingga ketulusanku yang luar biasa keluar dari tubuhku.

~bahkan tak ada seorang pun yang percaya bahwa aku sungguh-sungguh menyukai Taylor Lautner dengan segala kesempurnaannya, walaupun semua orang bilang hidungnya besar seperti terung.

Bagaimana aku menjelaskan semua itu pada orang tuaku?

Pada harapan semu mereka?

Padahal tak sedikitpun aku bisa membayangkan dengan imajinasiku yang hebat ini, bahwa suatu hari nanti aku duduk di ruang kerjaku, yang pada dindingnya tertempel poster Empat Sehat Lima Sempurna, dan mengenakan jas putih yang pada bagian dadanya terjahit tulisan: "Dr.Latifatul Khairiyah".

Sesungguhnya, menurutku itu mengerikan. Aku tak mau pekerjaan seperti itu. Aku ingin bebas. Bebas yang sebebas-bebasnya. Tapi tentu saja aku masih tahu aturan kebebasan, jadi kau tak perlu khawatir.

Dan saat ini, aku teringat kata-kata Qisti padaku di suatu siang yang panas, ketika kami membicarakan masa depan yang penuh dengan seribu satu kemungkinan: "aku tak takut pada nilai-nilaiku atau apapun. bukan begitu. Aku takut, jika suatu saat nanti, entah berapa tahun setelah ini, aku akan tumbuh dewasa dan tak tahu akan bekerja apa, tak tahu mau jadi apa, dan aku takut aku tak akan menjadi apa-apa, padahal sebegitunyalah orang tuaku meyekolahkanku, sebesar itulah pengorbanan mereka untuk memenuhi kebutuhan pendidikanku."

Dan aku tertunduk, menyerap apa yang baru saja ia katakan. Kurasa itu mulai menohokku.

Akan jadi apa aku?

Kecewakah mereka bila tidak melihatku tumbuh sebagai dokter wanita yang hebat?

kecewakah mereka dengan bidang yang nantinya akan kupilih sesuai dengan kemauanku, bukan kemauan mereka?

Karena aku tidak mau jadi guru.

Aku tidak mau menjadi seorang dokter wanita berbakat.

Aku tak mau menjadi ibu rumah tangga.

Karena aku ingin bebas. Aku menuntut kebebasan. Bebas yang sebebas-bebasnya. Bebas seperti angin, bukan seperti burung, karena burung selalu menjadi ancaman bagi petani dan beberapa orang lain, karena burung suatu saat akan mati, tergeletak dan tak berdaya. Karena burung diburu manusia, mereka dipenjarakan dalam sarang seperti sel, tak pernah mengepakkan sayap leih dari 3 kali saking sempit sarangnya, dan mereka menggantungkan hidupnya sepenuhnya kepada manusia. Dan aku tak ingin menjadi burung. Aku lebih suka angin, karena angin bebas sebebas-bebasnya, tak menunduk pada suatu apapun kecuali Tuhan, mereka mengancam manusia dengan keanggunannya, mereka tak terikat dan tak bergantung pada suatu apapun kecuali pada Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar

monggo di komen :) terima kasih sudah berkunjung :)

 

Latiffatul Wolfe Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez