Kamis, 21 Januari 2010

Love letters to Taylor Lautner: We'll make sure he gets your Valentine

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 23.03 0 komentar
Ini saya ambil dari sini


Is your heart a-flutter for Taylor Lautner? Does the teen "Twilight Saga" star from Grand Rapids make you go gaga?

Here's your chance to be creative and profess your admiration for him.

Send The Press your homemade valentine for Taylor -- who turns 18 on Feb. 11 -- and we'll forward your notes to his Los Angeles office.

We'll also print some of the valentines in the paper, and randomly select some entries to win movie passes.

Mail or drop off your letters to: Valentines for Taylor Lautner, c/o The Grand Rapids Press Entertainment Dept., 155 Michigan St. NW, Grand Rapids, MI 49503. Deadline for entries is Jan. 29.

There are a few Valentine tie-ins here. Lautner happens to turn 18 on Feb. 11 (well, that's almost Valentine's Day). And his newest movie, “Valentine’s Day,” debuts Feb. 12 and features an A-list ensemble cast, including rumored love interest Taylor Swift.

banyak pelajaran. BANYAK sekali pelajaran.

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 20.14 1 komentar
hey guys. Missed me? ha.

Kali ini saya bakal ngebahas soal Pertandingan Futsal Antar Kelas SMP Negeri 1 Ponorogo. Ato biar gak kepanjangan, singkat aja jadi PFAKSN1P (oke, sama-sama susahnya sih, tapi kan seenggaknya lebih hemat. huehe).
PFAKSN1P dimulai dari babak penyisihan, tanggal 18 Januari (yap, on my birthday!). Dan terus berlanjut sampe babak semifinal tanggal 20 Januari sore hari. Terus ada break, alias jeda, sekitar satu setengah hari. Satu setengah hari ini bakal diisi dengan Pertandingan Futsal Putri (PFP) dan Pertandingan Futsal Antar Ekstrakurikuler (PFAE). Nah, kalo PFP dan PFAE udah ditentukan pemenangnya, maka PFAKSN1P bakal dilanjutin lagi. Tepatnya tanggal 22 Januari malam hari. Kenapa malam hari? Karena ini final. Dan, ehm, bukannya sombong, event apapun yang digelar SMPN 1 Ponorogo pada malam hari selalu mendapat respon positif oleh masyarakat. Maksudnya, mereka bakal antusias buat liat event itu. Well, itu mungkin karena ada angka "1" pada gelar SMPN kami. Tapi sejauh yang saya liat, event-eventnya emang keren kok. Jadi kesimpulannya, final diadakan malam hari untuk menarik perhatian. Baik masyarakat Ponorogo (maksudnya, bapak-bapak, ibu-ibu, nenek, kakek, dsb) atopun para calon siswa SMP ini.

Dan kenapa selama futsal nggak ada pelajaran? Apa yang terjadi dengan PR matematika, Presentasi Fisika, deadline pengumpulan LKS biologi dan agama, juga makalah Bahasa Indonesia? Jawabnya, karena guru-guru tercinta lagi sibuk-sibuknya ngurusin rapot semester satu, dan (mungkin) nggak mau mengajar anak didiknya sementara atmosfer liburan udah berasa kemana-mana. Jelas, anak didik mana yang bakal konsen belajar sementara objek wisata luar kota siap menyambut?

Dan yeah, sebenernya problem yang mau saya bahas sama sekali bukan tentang jadwal futsal. Malah mungkin sebenernya sama sekali nggak ada problem. Sama sekali bukan itu. This is about how I feel it.

Jadi, ini semua dimulai waktu saya masuk dan mengikuti pertamakali pelajaran bersama anak-anak IX I yang lain.
Sama sekali bukan hal yang mudah untuk mengingat-ingat nama semua anak di kelas ini. Saya orang paling males dalam hal mengingat nama-nama (well, dalam beberapa hal lain juga, tapi toh kita nggak bicara soal itu disini).
Juga, saya bukan jenis orang yang suka bersosialisasi dengan suatu kelompok yang baru. Saya tau saya bisa bersosialisasi dengan mudah, tapi saya kurang suka. Satu lagi bakat terselubung yang saya temukan: saya bisa membuat orang lain suka pada saya kalau saya mau, tanpa susah payah. Suka bukan dalam pengertian cinta, tapi dalam batasan yang wajar. Saya nggak tau kenapa. Satu lagi alasan untuk bersyukur sama yang di Atas.

Lalu nggak kerasa, minggu dan bulan berlalu, dan mustahil mengabaikan fakta bahwa saya punya teman-teman baru yang harus diingat namanya, yang harus diajak kerjasama dalam tugas kelompok. Jadi, nggak tau gimana prosesnya (saya lupa), tau-tau aja saya ingat nama mereka. Lambat laun, sih. Tapi toh akhirnya bener-bener terpatri dalam otak, walopun kadang kalo saya dalam kondisi diharuskan untuk memanggil nama mereka, saya harus berpikir lebih dulu: siapa namanya tadi? oh ya, bahar.

Setelah hafal semua nama mereka, saya mulai belajar kebiasaan mereka. Tau kan, apa yang mereka sukai dan apa yang nggak mereka sukai, apa julukan mereka, dan gimana respon mereka dalam setiap kejadian. Saya paling suka bagian ini. Karena lingkungan, saya anggap seperti laboratorium kehidupan, dan saya agak kaget waktu baca salah satu novelnya Andrea Hirata, karena ternyata kami punya jalan pikiran yang nyaris sama.

Jadi saya belajar dan terus belajar tentang mereka, sampai akhirnya mencapai satu titik dimana saya bisa menghargai orang itu. Menyenangkan sekali.

Dan dalam proses saya belajar, saya menemukan bahwa mayoritas anak laki-laki di kelas IX I cukup berbakat dalam futsal. Ato mungkin luar biasa berbakat. Hanya saja mereka nggak bisa menunjukkan itu karena nggak ada media waktu itu. Seperti Pertandingan Futsal Antar Kelas.

Kemudian saya bilang sama Dini soal penemuan terbaru saya. Dan yang mengejutkan, ternyata Dini juga terkejut. Saya pikir, dia sebagai jenius udah bisa memprediksi. Tapi ternyata belum. Jadi dari situ, saya mulai punya harapan untuk seenggaknya menang satu kali aja dalam PFAKSN1P. Saya sama sekali nggak tau kalo itu ternyata suatu firasat. Saya cuma berharap, dan berdoa. Semoga kelas IX I bisa, seenggaknya, punya kebanggaan tersendiri pas lulus nanti.

Dan dimulailah PFAKSN1P, pada 18 Januari 2010. Dan dalam drawingnya, saya liat IX I harus memulai pertandingan dari awal. Nggak dapet bye. IX I maen sore hari, melawan anak kelas 7 C. Dan saya harus les waktu itu. Harus, karena udah seminggu saya libur les karena ada UAS Ganjil. Lagipula, orang-orang seperti Anjung, Yayan, Bahar, Bara, dkk pasti bisa 'menumpas' anak kelas Tujuh. bahkan tanpa bantuan suporter. Maksud saya, bukannya sombong ato apa, tapi kan itu Anjung. Dia sebagai kapten, pemimpin, ato apalah kalian menyebutnya, dan dia atlet sekolah yang tiap hari kerjanya keliling stadion 7 kali tanpa henti. Dia juga masuk tim inti futsal sekolah. Lagipula ada si Yayan. yang katanya tiap hujan selalu maen bola di lapangan, nggak peduli ada petir ato nggak.
Oke, kalian pasti bisa guys, pikir saya waktu itu. Walopun nggak terlalu yakin. Saya sama sekali nggak punya harapan apa-apa tentang IX I vs VII C.
Jadi ketika bel pulang bunyi, saya langsung cabut dari tempat les. Biasanya sih saya nongkrong sebentar sambil nunggu adzan maghrib, biar buka puasanya sekalian di tempat les (hari itu kan hari senin, jadi saya puasa).

Sebenernya saya bisa aja nggak perlu repot-repot ke sekolah, karena ada teknologi canggih (thanks!) bernama SMS. Tapi saya bener-bener pengen tau dari panitianya langsung, karena waktu itu saya yakin pertandingan udah selesai dan semua penonton udah pulang, kecuali anak-anak OSIS. Pas saya tanya panitianya, hasilnya luar biasa mengejutkan. Bahkan walopun saya sudah memprediksi. Tapi tetep aja itu bakal mengejutkan siapapun yang selama 2 tahun sekolah di tempat yang sama dan sama sekali nggak pernah ditempatkan sekelas dengan cowok-cowok atletis (bukannya si Yayan atletis ato apa, tapi you know lah what I mean).

Yap. Benar. Hasilnya memuaskan. Kami menang telak, 10-0. Syahdu.

Saya nyaris lonjak-lonjak kegirangan kalo aja nggak ingat kalo saya sama sekali nggak mau dipermalukan di depan adek-adek junior.

Dan begitu terus selanjutnya. Kami menyerang, bertahan, dan menang. Walopun semakin lama, lawannya semakin sulit. Di titik ini, saya (lagi-lagi) nyaris yakin kalo IX I bisa masuk final. Saya berharap banyak. Sekaligus tidak terlalu banyak.

Sampe akhirnya, secara ajaib (walopun lawannya anak kelas 7 dan 8), IX I masuk semifinal. Saya nggak bisa tidur waktu itu. Gelisah, stress, takut, mikirin anak IX C yang sama kuatnya dengan IX A dan IX B. Yap. Kami bakal melawan IX C di semifinal. Syahdu.

Dan lagi-lagi, secara mengejutkan, kami menang. Pertandingannya luar biasa, nyesel kalo nggak liat. Walopun kami menang pinalti. Tapi sebenernya, kata 'walopun' di sini sama sekali ngak tepat. Itu semua lebih dari sekadar 'walopun'. Karena saya udah sebegitu yakinnya sama si Dimas, keeper IX I, dan ini pertandingan antara dua kandidat (lumayan) kuat, IX I vs IX C. Jadi ini pasti lebih dari sekadar 'pinalti'. Suara saya bahkan dipertaruhkan waktu itu, karena suporternya IX C sama hebohnya. Juga baju, celana, bahkan jaket kesayangan saya. Karena waktu itu hujan. Tepat sebelum pinalti dilakukan. Firasat? lagi-lagi saya nggak tau.

Terlepas dari semua kejadian itu, ada satu yang 'nendang'. Sama sekali bukan tentang kemenangan kami yang merupakan tiket emas untuk final. Sama sekali nggak ada hubungannya dengan itu.

Yaitu suasana magis di tiap pertandingan kelas saya. Serius. Bukannya sombong ato apa, tapi bahkan orang-orang lain yang nggak sekelas dengan saya (contohnya Qisti), bilang kalo kelas kami kompak. Qisti bilang, setelah semifinal, "ih, kelasku kok nggak bisa kaya gitu sih?" katanya, waktu liat saya menyatukan tangan dengan anak-anak futsal untuk berdoa demi kelancaran final satu setengah hari lagi, dan diikuti anak-anak cewek lain.
Ini dia. Bahkan saya berasa mau nangis waktu itu, sama sekali nggak nyangka kalo kelas yang saya benci di awal tahun ajaran bisa jadi kelas yang luar biasa di akhir tahun. Jujur, saya ngerasa melayang. Bukan dalam pengertian sombong, tapi dalam pengertian bahagia.

Pas semua tangan udah jadi satu, Anjung bilang: "semoga perjalanan kita di final nanti bisa lancar". Dan kami berdoa. Semuanya berdoa. Dan saya bener-bener pengen nangis. Ini dia yang membuat kita dewasa. Bahkan saya bisa merasakan suara kepemimpinannya si Anjung yang biasanya urakan dan nggak jelas waktu itu.
Kemudian Anjung bilang: "Amin". Dan semua orang mendongak, dan saya liat dalam setiap mata, ada harapan disana. Ada perasaan 'satu' yang kuat. Bola mata saya terasa panas. Terus Anjung bilang lagi: "Songo i..." dan tangan kami lemparkan ke atas kuat-kuat, sambil bilang :"YEAH!". Manis. Magis. Syahdu.

Juga ada satu kejadian kecil lagi yang mungkin nggak akan diperhatikan orang lain.
Yaitu waktu IX I bertanding melawan VII F. Mungkin waktu IX I vs VII C saya nggak liat, tapi saya liat dengan mata kepala sendiri waktu IX I melawan VII F: mereka bergantian main. Anak-anak cowok maksud saya. Mula-mula kelas saya menurunkan pemain-pemain handal, sampe akhirnya kami cukup yakin anak kelas tujuh nggak bisa mengejar. Terus, mereka bergantian. Seolah memberikan kesempatan pada yang lain untuk merasakan atmosfer kemenangan. Bagaimanapun, mungkin ini nggak ada artinya buat orang lain, tapi tetep aja itu 'nendang' buat saya. Karena itu berarti ada rasa toleransi, menghargai, dan kekeluargaan. Suatu perasaan yang sama sekali nggak bisa saya rasakan dengan keluarga kandung saya. Dan itu...well, manis sekali. Bahkan untuk ukuran anak-anak bebal di kelas saya.

Jadi kesimpulannya, kamu tau apa yang membuat saya bahagia? Suasana kekeluargaannya. Ketika yang satu sakit, semua juga sakit. Ketika yang satu senang karena berhasil mencetak gol, yang lain langsung sorak-sorak bergembira. Satu lagi pelajaran yang bisa diambil: jangan cepat-cepat menilai. Pikirkan. Semua butuh proses. Kelas yang awalnya saya benci, malah menjadi kelas terhebat selama saya bersekolah di SMPN 1 Ponorogo. Maaf, teman-teman alumni kelas 8a dan 7a, but that's the truth. Saya cuma memberi penilaian, dan sama sekali nggak bermaksud untuk membandingkan.

Dan udah menjadi harapan saya sejak awal, agar kelas saya bisa masuk final. Di titik ini saya nggak peduli lagi kami menang ato kalah, karena masuk final futsal aja udah menjadi sesuatu yang nggak bakal saya lupakan dalam sejarah hidup saya. Tapi saya tetep berharap bisa menang di final besok malam.

Itu harapan, dan mimpi, yang aku lihat dalam setiap mata semua orang.

kita, saat berhasil mempecundangi dunia

Rabu, 20 Januari 2010

15

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 19.40 0 komentar
Oh. Oh. Mungkin aku tau kenapa mereka, orang-orang barat, menyebut angka ‘kesebelasan’ dengan akhiran ‘teen’. Seperti Fifteen, Sixteen, Seventeen, dsb..
Karena ‘teen’ berarti remaja, dan kamu jelas nggak bisa lagi disebut remaja kalo umur kamu 10 tahun kebawah ato malah 20 tahun lebih. Jelas, pengecualian untuk Eleven dan Twelve. Soalnya kamu kan belum cukup dewasa untuk disebut remaja kalo umurmu baru sebelas ato dua belas taun.

Kesimpulannya, mereka (orang-orang barat) adalah manusia keturunan nenek moyang yang paling aneh. Well, sekaligus paling jenius. Siapa yang kepikiran untuk menyambungkan ‘teen’ dalam pengertian remaja, sama akhiran angka ‘kesebelasan’ yang bisa dipake sehari-hari?

Jenius yang aneh.

Intinya adalah, sekarang aku lima belas tahun. Lima Belas. Dan itu berarti banyak. Itu berarti saya udah nggak bisa lagi disebut anak-anak, dan semakin dekat dengan dewasa. Dan menjadi dewasa, berada di urutan paling akhir yang saya minta sebagai hadiah ulang tahun.

Maksudku, DEWASA. Ya ampun. Kata itu menyeramkan sekali. Sama sekali nggak enak didengar. Bukan sesuatu yang kamu harapkan waktu kamu sedang ngumpul bareng bf mu. Bukan sesuatu yang kamu harapkan waktu kamu nonton ‘Peterpan’ atau ‘Tinkerbell’ atau yang sejenisnya.

Sementara aku masih berkutat dengan masalah Siapa-Aku-Sebenarnya-dan-Apa-yang-Kuinginkan-dalam-Hidup jelas nggak siap buat menghadapi itu. Well, lima belas, bisa disebut remaja, dan remaja yang normal jelas mengalami krisis remaja seperti yang aku alami. Tapi selalu ada pengecualian bagi anak-anak yang sejak lahir punya tanda-tanda kejeniusan, seperti dibidang sains, musik, dan sebagainya. Yang paling menyedihkan adalah kami, yang sama sekali tidak tahu apa yang tersembunyi dalam diri kami, dan selalu menebak dan menebak. Dan percayalah satu kali ini saja please (kalau kamu belum pernah mempercayaiku sebelumnya), kalau menebak itu bukan sesuatu yang menyenangkan (meskipun penuh kejutan, seperti kata psikolog-psikolog sok pengertian itu). Menebak, berarti mengira-ngira. Menebak, berarti kau buta. Dan menebak, berarti kau nyaris bodoh. Karena seorang jenius tidak pernah menebak untuk apapun, mereka selalu punya jawaban yang didasarkan atas pemikiran otak brilian dan pendapat mereka disertai alasan kuat. Dan perlukah aku bilang, kalau aku sama sekali bukan jenius?

Dan APA YANG MEREKA PIKIRKAN, bahwa aku cerdas, aku berintelijensi tinggi, adalah kesalahan paling fatal yang pernah mereka perbuat. nyaris memuakkan.

Aku tidak cerdas! Tapi well, aku pintar, karena aku kan tidak sebodoh itu. Bahkan idiot pun tau bedanya pintar dan cerdas! Maksudku, kau tidak perlu belajar kalau kau seorang Cerdas, sementara bagi mereka yang pintar, masih harus belajar luar biasa untuk bisa menyamai si Cerdas. Oh, sebenarnya nilai-nilai si Pintar selalu selisih SATU ANGKA dibawah si Cerdas.

Oke. Balik lagi.

Bukannya tambah umur itu menyedihkan ato apa, tapi SULIT SEKALI membayangkan kita dewasa. SMA, kuliah, ngejar deadline skripsi, jatuh bangun cari kerja, nikah, punya anak, dan lain-lain. Maksud ku, itu mungkin nggak sih? Renungkan untuk satu detik, please!!

Sulit sekali membayangkan gimana rasanya susah kalo kamu sama sekali nggak ngerasa lagi susah.

Saya juga nggak bikin resolusi ato apa. Saya bahkan nggak tau harus berharap apa. Itu normal nggak sih? Saya bener-bener ngerasa kehilangan. Kehilangan yang bener-bener kehilangan. Nggak mungkin saya minta Tuhan buat mengembalikan empat belas tahun saya, walopun itu gampang-gampang aja buat Dia.

Mungkin dari luar saya keliatan "kamu ceria banget!". Tapi siapa sih yang tau isi kepala orang (lagi-lagi) kalo bukan DIA?

Dan terimakasih untuk Taylor Swift, yang sudah membuat saya pengen cepet-cepet lima belas tahun SEKALIGUS abadi dalam empat belas tahun:

You take a deep breath and walk through the doors,
It's the morning of your very first day..
You say hi to your friends you ain't seen in a while,
Try and stay out of everybody's way..
It's your freshmen year and you're gonna be here for the next four years in this town..
Hoping one of those senior boys will wink at you and say "you know I haven't seen you around, before"...

Cause when you're fifteen,
and somebody tells you that they love you,
you're gonna believe them..
and when you're fifteen,
feeling like there's nothing to figure out..
well count to ten, take it in this is life before you know who you're gonna be fifteen...

Back then I swore I was gonna marry him someday,
but I realized some bigger dreams of mine..
and Abigail gave everything she had to a boy, who changed his mind and we both cried..

(and my favorite lyrics is)
Cause when you're fifteen,
and somebody tells you that they love you,
you're gonna believe them..
and when you're fifteen,
don't forget to look before you fall..
I've found time can heal most anything,
and you just might find who you're supposed to be..
I didn't know who I was supposed to be at fifteen..

Minggu, 03 Januari 2010

AVATAR Trailer and that's why I wanna watch this

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 13.44 0 komentar
 

Latiffatul Wolfe Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez