Kamis, 21 Januari 2010

banyak pelajaran. BANYAK sekali pelajaran.

Diposting oleh Latifatul Khairiyah di 20.14
hey guys. Missed me? ha.

Kali ini saya bakal ngebahas soal Pertandingan Futsal Antar Kelas SMP Negeri 1 Ponorogo. Ato biar gak kepanjangan, singkat aja jadi PFAKSN1P (oke, sama-sama susahnya sih, tapi kan seenggaknya lebih hemat. huehe).
PFAKSN1P dimulai dari babak penyisihan, tanggal 18 Januari (yap, on my birthday!). Dan terus berlanjut sampe babak semifinal tanggal 20 Januari sore hari. Terus ada break, alias jeda, sekitar satu setengah hari. Satu setengah hari ini bakal diisi dengan Pertandingan Futsal Putri (PFP) dan Pertandingan Futsal Antar Ekstrakurikuler (PFAE). Nah, kalo PFP dan PFAE udah ditentukan pemenangnya, maka PFAKSN1P bakal dilanjutin lagi. Tepatnya tanggal 22 Januari malam hari. Kenapa malam hari? Karena ini final. Dan, ehm, bukannya sombong, event apapun yang digelar SMPN 1 Ponorogo pada malam hari selalu mendapat respon positif oleh masyarakat. Maksudnya, mereka bakal antusias buat liat event itu. Well, itu mungkin karena ada angka "1" pada gelar SMPN kami. Tapi sejauh yang saya liat, event-eventnya emang keren kok. Jadi kesimpulannya, final diadakan malam hari untuk menarik perhatian. Baik masyarakat Ponorogo (maksudnya, bapak-bapak, ibu-ibu, nenek, kakek, dsb) atopun para calon siswa SMP ini.

Dan kenapa selama futsal nggak ada pelajaran? Apa yang terjadi dengan PR matematika, Presentasi Fisika, deadline pengumpulan LKS biologi dan agama, juga makalah Bahasa Indonesia? Jawabnya, karena guru-guru tercinta lagi sibuk-sibuknya ngurusin rapot semester satu, dan (mungkin) nggak mau mengajar anak didiknya sementara atmosfer liburan udah berasa kemana-mana. Jelas, anak didik mana yang bakal konsen belajar sementara objek wisata luar kota siap menyambut?

Dan yeah, sebenernya problem yang mau saya bahas sama sekali bukan tentang jadwal futsal. Malah mungkin sebenernya sama sekali nggak ada problem. Sama sekali bukan itu. This is about how I feel it.

Jadi, ini semua dimulai waktu saya masuk dan mengikuti pertamakali pelajaran bersama anak-anak IX I yang lain.
Sama sekali bukan hal yang mudah untuk mengingat-ingat nama semua anak di kelas ini. Saya orang paling males dalam hal mengingat nama-nama (well, dalam beberapa hal lain juga, tapi toh kita nggak bicara soal itu disini).
Juga, saya bukan jenis orang yang suka bersosialisasi dengan suatu kelompok yang baru. Saya tau saya bisa bersosialisasi dengan mudah, tapi saya kurang suka. Satu lagi bakat terselubung yang saya temukan: saya bisa membuat orang lain suka pada saya kalau saya mau, tanpa susah payah. Suka bukan dalam pengertian cinta, tapi dalam batasan yang wajar. Saya nggak tau kenapa. Satu lagi alasan untuk bersyukur sama yang di Atas.

Lalu nggak kerasa, minggu dan bulan berlalu, dan mustahil mengabaikan fakta bahwa saya punya teman-teman baru yang harus diingat namanya, yang harus diajak kerjasama dalam tugas kelompok. Jadi, nggak tau gimana prosesnya (saya lupa), tau-tau aja saya ingat nama mereka. Lambat laun, sih. Tapi toh akhirnya bener-bener terpatri dalam otak, walopun kadang kalo saya dalam kondisi diharuskan untuk memanggil nama mereka, saya harus berpikir lebih dulu: siapa namanya tadi? oh ya, bahar.

Setelah hafal semua nama mereka, saya mulai belajar kebiasaan mereka. Tau kan, apa yang mereka sukai dan apa yang nggak mereka sukai, apa julukan mereka, dan gimana respon mereka dalam setiap kejadian. Saya paling suka bagian ini. Karena lingkungan, saya anggap seperti laboratorium kehidupan, dan saya agak kaget waktu baca salah satu novelnya Andrea Hirata, karena ternyata kami punya jalan pikiran yang nyaris sama.

Jadi saya belajar dan terus belajar tentang mereka, sampai akhirnya mencapai satu titik dimana saya bisa menghargai orang itu. Menyenangkan sekali.

Dan dalam proses saya belajar, saya menemukan bahwa mayoritas anak laki-laki di kelas IX I cukup berbakat dalam futsal. Ato mungkin luar biasa berbakat. Hanya saja mereka nggak bisa menunjukkan itu karena nggak ada media waktu itu. Seperti Pertandingan Futsal Antar Kelas.

Kemudian saya bilang sama Dini soal penemuan terbaru saya. Dan yang mengejutkan, ternyata Dini juga terkejut. Saya pikir, dia sebagai jenius udah bisa memprediksi. Tapi ternyata belum. Jadi dari situ, saya mulai punya harapan untuk seenggaknya menang satu kali aja dalam PFAKSN1P. Saya sama sekali nggak tau kalo itu ternyata suatu firasat. Saya cuma berharap, dan berdoa. Semoga kelas IX I bisa, seenggaknya, punya kebanggaan tersendiri pas lulus nanti.

Dan dimulailah PFAKSN1P, pada 18 Januari 2010. Dan dalam drawingnya, saya liat IX I harus memulai pertandingan dari awal. Nggak dapet bye. IX I maen sore hari, melawan anak kelas 7 C. Dan saya harus les waktu itu. Harus, karena udah seminggu saya libur les karena ada UAS Ganjil. Lagipula, orang-orang seperti Anjung, Yayan, Bahar, Bara, dkk pasti bisa 'menumpas' anak kelas Tujuh. bahkan tanpa bantuan suporter. Maksud saya, bukannya sombong ato apa, tapi kan itu Anjung. Dia sebagai kapten, pemimpin, ato apalah kalian menyebutnya, dan dia atlet sekolah yang tiap hari kerjanya keliling stadion 7 kali tanpa henti. Dia juga masuk tim inti futsal sekolah. Lagipula ada si Yayan. yang katanya tiap hujan selalu maen bola di lapangan, nggak peduli ada petir ato nggak.
Oke, kalian pasti bisa guys, pikir saya waktu itu. Walopun nggak terlalu yakin. Saya sama sekali nggak punya harapan apa-apa tentang IX I vs VII C.
Jadi ketika bel pulang bunyi, saya langsung cabut dari tempat les. Biasanya sih saya nongkrong sebentar sambil nunggu adzan maghrib, biar buka puasanya sekalian di tempat les (hari itu kan hari senin, jadi saya puasa).

Sebenernya saya bisa aja nggak perlu repot-repot ke sekolah, karena ada teknologi canggih (thanks!) bernama SMS. Tapi saya bener-bener pengen tau dari panitianya langsung, karena waktu itu saya yakin pertandingan udah selesai dan semua penonton udah pulang, kecuali anak-anak OSIS. Pas saya tanya panitianya, hasilnya luar biasa mengejutkan. Bahkan walopun saya sudah memprediksi. Tapi tetep aja itu bakal mengejutkan siapapun yang selama 2 tahun sekolah di tempat yang sama dan sama sekali nggak pernah ditempatkan sekelas dengan cowok-cowok atletis (bukannya si Yayan atletis ato apa, tapi you know lah what I mean).

Yap. Benar. Hasilnya memuaskan. Kami menang telak, 10-0. Syahdu.

Saya nyaris lonjak-lonjak kegirangan kalo aja nggak ingat kalo saya sama sekali nggak mau dipermalukan di depan adek-adek junior.

Dan begitu terus selanjutnya. Kami menyerang, bertahan, dan menang. Walopun semakin lama, lawannya semakin sulit. Di titik ini, saya (lagi-lagi) nyaris yakin kalo IX I bisa masuk final. Saya berharap banyak. Sekaligus tidak terlalu banyak.

Sampe akhirnya, secara ajaib (walopun lawannya anak kelas 7 dan 8), IX I masuk semifinal. Saya nggak bisa tidur waktu itu. Gelisah, stress, takut, mikirin anak IX C yang sama kuatnya dengan IX A dan IX B. Yap. Kami bakal melawan IX C di semifinal. Syahdu.

Dan lagi-lagi, secara mengejutkan, kami menang. Pertandingannya luar biasa, nyesel kalo nggak liat. Walopun kami menang pinalti. Tapi sebenernya, kata 'walopun' di sini sama sekali ngak tepat. Itu semua lebih dari sekadar 'walopun'. Karena saya udah sebegitu yakinnya sama si Dimas, keeper IX I, dan ini pertandingan antara dua kandidat (lumayan) kuat, IX I vs IX C. Jadi ini pasti lebih dari sekadar 'pinalti'. Suara saya bahkan dipertaruhkan waktu itu, karena suporternya IX C sama hebohnya. Juga baju, celana, bahkan jaket kesayangan saya. Karena waktu itu hujan. Tepat sebelum pinalti dilakukan. Firasat? lagi-lagi saya nggak tau.

Terlepas dari semua kejadian itu, ada satu yang 'nendang'. Sama sekali bukan tentang kemenangan kami yang merupakan tiket emas untuk final. Sama sekali nggak ada hubungannya dengan itu.

Yaitu suasana magis di tiap pertandingan kelas saya. Serius. Bukannya sombong ato apa, tapi bahkan orang-orang lain yang nggak sekelas dengan saya (contohnya Qisti), bilang kalo kelas kami kompak. Qisti bilang, setelah semifinal, "ih, kelasku kok nggak bisa kaya gitu sih?" katanya, waktu liat saya menyatukan tangan dengan anak-anak futsal untuk berdoa demi kelancaran final satu setengah hari lagi, dan diikuti anak-anak cewek lain.
Ini dia. Bahkan saya berasa mau nangis waktu itu, sama sekali nggak nyangka kalo kelas yang saya benci di awal tahun ajaran bisa jadi kelas yang luar biasa di akhir tahun. Jujur, saya ngerasa melayang. Bukan dalam pengertian sombong, tapi dalam pengertian bahagia.

Pas semua tangan udah jadi satu, Anjung bilang: "semoga perjalanan kita di final nanti bisa lancar". Dan kami berdoa. Semuanya berdoa. Dan saya bener-bener pengen nangis. Ini dia yang membuat kita dewasa. Bahkan saya bisa merasakan suara kepemimpinannya si Anjung yang biasanya urakan dan nggak jelas waktu itu.
Kemudian Anjung bilang: "Amin". Dan semua orang mendongak, dan saya liat dalam setiap mata, ada harapan disana. Ada perasaan 'satu' yang kuat. Bola mata saya terasa panas. Terus Anjung bilang lagi: "Songo i..." dan tangan kami lemparkan ke atas kuat-kuat, sambil bilang :"YEAH!". Manis. Magis. Syahdu.

Juga ada satu kejadian kecil lagi yang mungkin nggak akan diperhatikan orang lain.
Yaitu waktu IX I bertanding melawan VII F. Mungkin waktu IX I vs VII C saya nggak liat, tapi saya liat dengan mata kepala sendiri waktu IX I melawan VII F: mereka bergantian main. Anak-anak cowok maksud saya. Mula-mula kelas saya menurunkan pemain-pemain handal, sampe akhirnya kami cukup yakin anak kelas tujuh nggak bisa mengejar. Terus, mereka bergantian. Seolah memberikan kesempatan pada yang lain untuk merasakan atmosfer kemenangan. Bagaimanapun, mungkin ini nggak ada artinya buat orang lain, tapi tetep aja itu 'nendang' buat saya. Karena itu berarti ada rasa toleransi, menghargai, dan kekeluargaan. Suatu perasaan yang sama sekali nggak bisa saya rasakan dengan keluarga kandung saya. Dan itu...well, manis sekali. Bahkan untuk ukuran anak-anak bebal di kelas saya.

Jadi kesimpulannya, kamu tau apa yang membuat saya bahagia? Suasana kekeluargaannya. Ketika yang satu sakit, semua juga sakit. Ketika yang satu senang karena berhasil mencetak gol, yang lain langsung sorak-sorak bergembira. Satu lagi pelajaran yang bisa diambil: jangan cepat-cepat menilai. Pikirkan. Semua butuh proses. Kelas yang awalnya saya benci, malah menjadi kelas terhebat selama saya bersekolah di SMPN 1 Ponorogo. Maaf, teman-teman alumni kelas 8a dan 7a, but that's the truth. Saya cuma memberi penilaian, dan sama sekali nggak bermaksud untuk membandingkan.

Dan udah menjadi harapan saya sejak awal, agar kelas saya bisa masuk final. Di titik ini saya nggak peduli lagi kami menang ato kalah, karena masuk final futsal aja udah menjadi sesuatu yang nggak bakal saya lupakan dalam sejarah hidup saya. Tapi saya tetep berharap bisa menang di final besok malam.

Itu harapan, dan mimpi, yang aku lihat dalam setiap mata semua orang.

kita, saat berhasil mempecundangi dunia

1 komentar:

Dindy Agung on 13 Maret 2010 pukul 21.30 mengatakan...

tull,,aku kudu mbrebes kelingan dhek kae...huhuhu....mantaap tul artikelmu !!!!!!!!!

Posting Komentar

monggo di komen :) terima kasih sudah berkunjung :)

 

Latiffatul Wolfe Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez